
Suasana hangat saat Menag menyampaikan gagasan “Kurikulum Cinta”
“Kebencian tak bisa dilawan dengan kemarahan. Tapi bisa diluruhkan dengan cinta yang diajarkan sejak dini.” — Menag Nasaruddin Umar
Daftar isi
Fakta Singkat:
- Lokasi: Jakarta, Indonesia
- Tanggal Kejadian: 31 Juli 2025
- Tokoh Utama: Menteri Agama RI, Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar
- Acara: Dialog Menag bersama Pengurus Pusat GMKI
Isu Intoleransi Meningkat, Dialog Digelar untuk Menyatukan Perspektif
Dalam suasana dialog yang hangat dan penuh semangat, Menteri Agama Nasaruddin Umar bertemu dengan jajaran Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) di Jakarta. Pertemuan tersebut tidak sekadar silaturahmi, tetapi menjadi ruang bersama untuk membahas keresahan yang semakin nyata: intoleransi berbasis agama yang masih menghantui berbagai lapisan masyarakat.
GMKI menyampaikan pandangannya bahwa generasi muda berperan krusial dalam merawat keberagaman Indonesia. Sebagai organisasi lintas iman, mereka menegaskan komitmennya untuk terus membangun narasi perdamaian dan dialog antaragama di kampus-kampus dan komunitas akar rumput.
PGN-KB (Persatuan Guru Ngaji Kabupaten Bandung) juga menekankan pentingnya penguatan nilai toleransi lewat pendidikan berbasis akhlak dan kebudayaan lokal. Tentang PGN KB
Gagasan “Kurikulum Cinta”: Mendidik Sejak Usia Dini
Dalam sambutannya, Menag Nasaruddin mengangkat konsep Kurikulum Cinta—sebuah pendekatan pendidikan yang menanamkan nilai kasih sayang, empati, dan penghormatan terhadap perbedaan sejak anak usia dini. Baginya, pendidikan tak cukup hanya mengajarkan hafalan dogma, tapi juga harus menyentuh dimensi kemanusiaan yang paling dalam.
“Kalau anak-anak kita sejak kecil terbiasa melihat perbedaan sebagai kekayaan, maka mereka tidak akan tumbuh menjadi pembenci. Mereka akan menjadi jembatan,” ujar Menag.
Menurut Menag, akar persoalan intoleransi bukan hanya pada doktrin sempit, tetapi pada cara berpikir yang tidak pernah diasah untuk terbuka. Ia menambahkan, “Kurikulum cinta bukan pelajaran baru, tapi cara baru untuk mengajarkan kebaikan yang selama ini terabaikan.”
GMKI Dukung Penuh Upaya Moderasi Beragama
Ketua Umum GMKI menyambut baik gagasan Menag tersebut. Ia menyatakan bahwa “Kurikulum Cinta” merupakan terobosan strategis yang sejalan dengan semangat kebhinekaan Indonesia. GMKI bahkan menawarkan diri untuk menjadi mitra aktif dalam pilot project penerapan kurikulum tersebut, khususnya di kampus-kampus dan komunitas lintas iman.
Tak hanya itu, dialog juga membahas perlunya revitalisasi forum-forum keagamaan di tingkat pelajar dan mahasiswa agar menjadi ruang terbuka untuk bertukar pikiran secara sehat dan damai. Menag menyambut usulan tersebut dengan antusias dan meminta jajarannya segera menindaklanjuti.
Tantangan ke Depan: Dari Retorika ke Kebijakan Nyata
Meski gagasan “Kurikulum Cinta” menuai pujian, tantangan terbesar justru ada pada tahap implementasi. Apakah gagasan ini bisa diterjemahkan menjadi kebijakan nasional? Mampukah sistem pendidikan Indonesia yang begitu kompleks mengakomodasi pendekatan ini secara konsisten?
Banyak kalangan pendidikan menilai bahwa pendekatan emosional dan nilai-nilai kemanusiaan justru sering terpinggirkan dalam kebijakan pendidikan. Kurikulum nasional masih lebih sibuk mengejar target kognitif ketimbang membentuk karakter.
Refleksi: Toleransi Bukan Sekadar Wacana, Tapi Jalan Hidup
Dialog antara Menag dan GMKI ini memberi harapan baru bahwa masih ada ruang untuk membicarakan Indonesia secara jujur dan tulus. Bahwa keberagaman bukan beban, melainkan warisan luhur yang harus dirawat bersama. Dan bahwa cinta, meski terdengar sentimental, adalah kekuatan sosial yang selama ini diremehkan.
Sudah saatnya pendidikan di Indonesia tidak hanya mencetak pintar, tapi juga membentuk pribadi yang peduli, lembut hati, dan menghargai perbedaan. Karena hanya lewat cinta, kebencian bisa diakhiri tanpa harus menyalakan api baru.